Tugas Berat Perawat Pasien Covid-19
Dua perawat pasien corona di Kediri. ©2020 Merdeka.com
Merdeka.com - Di balik hiruk penanganan wabah corona
(Covid-19), ada yang bekerja dalam senyap. Dengan perlindungan diri
seadanya, mereka mempertaruhkan keselamatan demi menolong pasien
Covid-19. Mereka adalah petugas medis yang menangani pasien secara
langsung di ruang isolasi, dengan risiko terpapar virus corona yang
mematikan.
"Tidak semua perawat mau ditempatkan di sini karena risikonya yang tinggi," kata M (47) perawat di ruang isolasi Rumah Sakit Umum Daerah Gambiran Kota Kediri mengawali perbincangan dengan merdeka.com baru-baru ini.
Sejak wabah corona melanda Kota Kediri, RSUD Gambiran membentuk tim dan sarana perawatan pasien yang terpapar penyakit itu. M salah satunya. Sebelum wabah terjadi, dia bertugas di bagian Pengendalian Pencegahan Infeksi (PPI). Dia dipindahkan ke bagian isolasi pasien penyakit menular untuk membantu penanggulangan Covid-19.
Meski banyak rekannya yang menolak tugas tersebut, dia justru menerima. Sebagai seorang perawat, M mengaku tida boleh menolak tugas kemanusiaan apapun risikonya. Termasuk kemungkinan terpapar virus mematikan dari pasien yang dirawat.
Menurut M, tugas yang diemban ini tidak sebanding dengan penderitaan dan ketakutan pasien yang terindikasi corona. "Setiap kali dimasukkan ruang isolasi, wajah mereka sangat tegang dan depresi. Bahkan ada yang nyaris bunuh diri karena stres," tuturnya.
Di sinilah peran M dan tenaga medis di ruang isolasi dibutuhkan. Setiap hari mereka membangun komunikasi dan membangkitkan semangat pasien untuk sembuh.
Ironisnya, tugas berat tersebut tidak diimbangi dengan pemenuhan alat perlindungan diri (APD) yang mereka pakai. Padahal setiap saat M dan teman-temannya berpotensi terpapar virus corona saat berinteraksi di ruang isolasi.
"Kami terpaksa mengurangi intensitas keluar masuk ruang isolasi karena keterbatasan APD. Di zona merah, APD hanya bisa dipakai sekali dan langsung dibuang," ceritanya.
Sebagai gantinya, dia membentuk grup WhatsApp yang terdiri dari petugas ruangan dan pasien. Sehingga komunikasi bisa dilakukan secara daring tanpa harus masuk ke dalam ruang isolasi. Selain menghilangkan kebosanan dan menyampaikan motivasi, grup WA itu juga dipakai untuk melaporkan kebutuhan pasien seperti cairan infus yang habis.
Melalui WA pula para pasien bisa saling berinteraksi dan mengenal satu sama lain, dan membangun semangat sembuh bersama-sama.
TS, perawat berusia 54 tahun yang menjadi rekan M di ruang isolasi memberikan kesaksian sama. Perawat senior ini bahkan mengalami tekanan mental di luar tempat kerjanya sejak merawat pasien corona. "Mereka mengucilkan saya karena dianggap bisa menularkan virus. Padahal tidak sesederhana itu," katanya.
Dahsyatnya pemberitaan tentang penularan corona secara langsung turut memojokkan para perawat. Tidak hanya oleh tetangga di rumah, beberapa rekan kerja di rumah sakit turut menjaga jarak dengan para tenaga medis yang bertugas di ruang isolasi. Mereka tak mau tertular oleh virus mematikan yang hingga kini belum ditemukan obatnya.
Langkah ekstrem bahkan dilakukan M terhadap keluarganya. Sampai sekarang M tidak pernah menceritakan tugasnya merawat pasien corona kepada anak-anaknya. Dia tidak ingin mereka berpikir jauh dan ketakutan atas profesi yang dijalani ibunya.
"Saya juga terpaksa tidur terpisah dengan anak saya agar tidak terpapar. Sejak bertugas di ruangan ini, secara otomatis saya masuk dalam kategori ODR (orang dalam resiko)," kata M.
Untuk menjaga keluarganya, M menerapkan protokol ketat tentang kebersihan. Setelah selesai jam bertugas, dia berganti baju di ruangan khusus sebelum meninggalkan rumah sakit. Setiba di rumah, M menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan keramas, serta mencuci pakaiannya. Baru setelah itu dia bisa mendekati anak-anaknya tanpa bisa berpelukan.
Dengan kondisi tersebut, baik M maupun TS harus tetap membangun optimisme pasien di rumah sakit. Mereka juga selalu siap menjadi tempat curhat saat kondisi pasien sedang drop atau sedih. "Semua pasien harus dalam kondisi baik, nyaman dan bahagia. Karena itu modal awal untuk sembuh," kata TS.
Jika diperlukan, para perawat ini juga merangkap menjadi kurir untuk mengantarkan titipan dari keluarga pasien. Karena keterbatasan APD, pengantaran itu tidak bisa dilakukan setiap saat. Ini berbeda dengan pasien di ruang perawatan lain yang bebas keluar masuk tanpa membutuhkan perlengkapan khusus.
Karena itu ketika ditanya tentang keinginan terbesar mereka saat ini, M dan TS berharap mendapat bantuan APD agar bisa menjalankan tugasnya dengan maksimal. Mereka juga berharap wabah ini segera berakhir, dan bisa menjalani kehidupan normal bersama keluarga.
"Dibutuhkan ketulusan, keikhlasan, dan percaya pada Allah untuk mengemban tugas ini. Kalau Allah tidak menghendaki kami tertular, Insya Allah aman," pungkasnya.
Saat ini terdapat 12 tenaga medis yang bertugas di ruang isolasi RSUD Gambiran. Mereka bekerja secara bergilir selama 24 jam untuk memastikan pasien yang dirawat baik-baik saja. [cob]
"Tidak semua perawat mau ditempatkan di sini karena risikonya yang tinggi," kata M (47) perawat di ruang isolasi Rumah Sakit Umum Daerah Gambiran Kota Kediri mengawali perbincangan dengan merdeka.com baru-baru ini.
Sejak wabah corona melanda Kota Kediri, RSUD Gambiran membentuk tim dan sarana perawatan pasien yang terpapar penyakit itu. M salah satunya. Sebelum wabah terjadi, dia bertugas di bagian Pengendalian Pencegahan Infeksi (PPI). Dia dipindahkan ke bagian isolasi pasien penyakit menular untuk membantu penanggulangan Covid-19.
Meski banyak rekannya yang menolak tugas tersebut, dia justru menerima. Sebagai seorang perawat, M mengaku tida boleh menolak tugas kemanusiaan apapun risikonya. Termasuk kemungkinan terpapar virus mematikan dari pasien yang dirawat.
Menurut M, tugas yang diemban ini tidak sebanding dengan penderitaan dan ketakutan pasien yang terindikasi corona. "Setiap kali dimasukkan ruang isolasi, wajah mereka sangat tegang dan depresi. Bahkan ada yang nyaris bunuh diri karena stres," tuturnya.
Di sinilah peran M dan tenaga medis di ruang isolasi dibutuhkan. Setiap hari mereka membangun komunikasi dan membangkitkan semangat pasien untuk sembuh.
Ironisnya, tugas berat tersebut tidak diimbangi dengan pemenuhan alat perlindungan diri (APD) yang mereka pakai. Padahal setiap saat M dan teman-temannya berpotensi terpapar virus corona saat berinteraksi di ruang isolasi.
"Kami terpaksa mengurangi intensitas keluar masuk ruang isolasi karena keterbatasan APD. Di zona merah, APD hanya bisa dipakai sekali dan langsung dibuang," ceritanya.
Sebagai gantinya, dia membentuk grup WhatsApp yang terdiri dari petugas ruangan dan pasien. Sehingga komunikasi bisa dilakukan secara daring tanpa harus masuk ke dalam ruang isolasi. Selain menghilangkan kebosanan dan menyampaikan motivasi, grup WA itu juga dipakai untuk melaporkan kebutuhan pasien seperti cairan infus yang habis.
Melalui WA pula para pasien bisa saling berinteraksi dan mengenal satu sama lain, dan membangun semangat sembuh bersama-sama.
TS, perawat berusia 54 tahun yang menjadi rekan M di ruang isolasi memberikan kesaksian sama. Perawat senior ini bahkan mengalami tekanan mental di luar tempat kerjanya sejak merawat pasien corona. "Mereka mengucilkan saya karena dianggap bisa menularkan virus. Padahal tidak sesederhana itu," katanya.
Dahsyatnya pemberitaan tentang penularan corona secara langsung turut memojokkan para perawat. Tidak hanya oleh tetangga di rumah, beberapa rekan kerja di rumah sakit turut menjaga jarak dengan para tenaga medis yang bertugas di ruang isolasi. Mereka tak mau tertular oleh virus mematikan yang hingga kini belum ditemukan obatnya.
Langkah ekstrem bahkan dilakukan M terhadap keluarganya. Sampai sekarang M tidak pernah menceritakan tugasnya merawat pasien corona kepada anak-anaknya. Dia tidak ingin mereka berpikir jauh dan ketakutan atas profesi yang dijalani ibunya.
"Saya juga terpaksa tidur terpisah dengan anak saya agar tidak terpapar. Sejak bertugas di ruangan ini, secara otomatis saya masuk dalam kategori ODR (orang dalam resiko)," kata M.
Untuk menjaga keluarganya, M menerapkan protokol ketat tentang kebersihan. Setelah selesai jam bertugas, dia berganti baju di ruangan khusus sebelum meninggalkan rumah sakit. Setiba di rumah, M menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan keramas, serta mencuci pakaiannya. Baru setelah itu dia bisa mendekati anak-anaknya tanpa bisa berpelukan.
Dengan kondisi tersebut, baik M maupun TS harus tetap membangun optimisme pasien di rumah sakit. Mereka juga selalu siap menjadi tempat curhat saat kondisi pasien sedang drop atau sedih. "Semua pasien harus dalam kondisi baik, nyaman dan bahagia. Karena itu modal awal untuk sembuh," kata TS.
Jika diperlukan, para perawat ini juga merangkap menjadi kurir untuk mengantarkan titipan dari keluarga pasien. Karena keterbatasan APD, pengantaran itu tidak bisa dilakukan setiap saat. Ini berbeda dengan pasien di ruang perawatan lain yang bebas keluar masuk tanpa membutuhkan perlengkapan khusus.
Karena itu ketika ditanya tentang keinginan terbesar mereka saat ini, M dan TS berharap mendapat bantuan APD agar bisa menjalankan tugasnya dengan maksimal. Mereka juga berharap wabah ini segera berakhir, dan bisa menjalani kehidupan normal bersama keluarga.
"Dibutuhkan ketulusan, keikhlasan, dan percaya pada Allah untuk mengemban tugas ini. Kalau Allah tidak menghendaki kami tertular, Insya Allah aman," pungkasnya.
Saat ini terdapat 12 tenaga medis yang bertugas di ruang isolasi RSUD Gambiran. Mereka bekerja secara bergilir selama 24 jam untuk memastikan pasien yang dirawat baik-baik saja. [cob]